Sangatta – Pada Jumat, 23 Juni 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh PT Tepian Nadenggan Bukit Subur Estate (TNBSE).
Rapat dipimpin oleh Basti Sangga Langi, dan Ketua Federasi Kehutanan, Industri, Umum Perkayuan, Pertanian, dan Perkebunan (Kodra F Hukatan) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Asmaran Nggani, mengungkapkan bahwa ada sekitar 11 karyawan yang terlibat dalam kasus ini.
Asmaran Nggani menyatakan bahwa dari 11 orang karyawan, 6 orang di PHK, 1 orang pensiun, dan 4 orang meninggal dunia. Masa bakti mereka di perusahaan mencapai lebih dari 8 tahun, sehingga mereka seharusnya dikategorikan sebagai karyawan tetap. Berdasarkan aturan pesangon, masing-masing karyawan memiliki jumlah yang berbeda, namun secara total perusahaan harus membayar sekitar Rp 600 juta.
“Diantaranya 6 orang di PHK, 1 orang pensiun dan 4 orang meninggal dunia, dengan ratarata masa bakti terhadap perusahaan di atas dari 8 tahun sehingga layak diketegorikan karyawan tetap. Berdasarkan aturan pesangon setiap mereka berbeda. Namun ditotalkan capai Rp 600 juta yang harus dibayar perusahaan,” Terangnya
Namun, pada RDP tersebut, PT TNBSE tidak hadir dengan alasan bahwa masalah ini sudah selesai berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Basti Sangga Langi mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut tampaknya tidak memahami Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dia menilai bahwa perusahaan tidak menunjukkan niat baik karena masalah ini sudah berlangsung lama dan beragam, ada yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun.
“Padahal ya memang seperti itu, cuman mereka tidak paham Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Saya lihat disini perusahaan tidak ada niat baik, karena persoalan ini sudah berlangsung lama, berfariasi ada yang lebih satu tahun dan ada yang satu tahun,” Ucapnya.
Menurut Basti, jika perusahaan tidak menerima anjuran tersebut, seharusnya mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun karena perusahaan tidak menunjukkan niat baik, anjuran ini diabaikan dan perusahaan tidak membayar serta tidak melakukan gugatan ke PHI. Karyawan terus menunggu jawaban dari perusahaan mengenai anjuran yang telah dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan
“Perusahaan juga tidak membayar dan perusahaan juga tidak melakukan gugatan ke PHI, sementara karyawan menunggu apa jawaban dari perusahaan tentang anjuran yang sudah dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan,” Bebernya.
Terlebih anggaran yang harus dibayarkan hanya terbilang kecil, ada yang Rp 200 juta, Rp 191 juta dan ada Rp 59 juta. “Artinya perusahaan ini kalau kita melihat memang tidak ada niat baiknya, padahal persoalan ini terbilang normative,” imbuhnya.
Basti menyarankan kepada pekerja melalui kuasa hukumnya untuk menggugat ke pengadilan. Dia juga menyatakan bahwa DPRD akan berkoordinasi dengan pimpinan untuk menentukan apakah pertemuan ini akan dijadwalkan ulang dan perusahaan akan dipanggil kembali.(bk)