SAMARINDA – Calon Bupati Kutai Timur (Kutim) Kasmidi Bulang menilai, penyampaian Cawabup Kutim Mahyunadi yang mempertanyakan perannya saat menjabat sebagai wabup tidak tepat. Hal itu Mahyunadi lontarkan kala menjawab pertanyaan Kasmidi dalam sesi debat antar paslon pada Debat Publik Kedua Pilkada Kutim di Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, Selasa (19/11/2024) sore.
Disebutkan Mahyunadi, Wabup Kutim non-aktif Kasmidi Bulang tidak cukup menjalankan tugasnya sehingga Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun Anggaran (TA) 2024 diperkirakan membengkak.
“Jelas keliru, sebagai fungsi pengawasan saya sudah kerja. SiLPA tahun 2023 yang angkanya Rp1,7 triliun itu kalau bukan saya yang gerak bisa tembus Rp2 T. Karena saya keliling SKPD bersama Asisten II, Kabag Pembangunan dan Bagian Hukum Seskab serta Inspektorat Daerah Kutim untuk memastikan anggaran bisa terserap,” ungkap Kasmidi pada awak media usai debat publik.
Dengan dalil itu, ia meminta ketegasan paslon Ardiansyah-Mahyunadi selaku kepala daerah non-aktif saat ini di tengah ancaman potensi angka SiLPA TA 2024 Kutim yang sangat besar.
“Harusnya kan tegas sebagai kepala daerah, mendorong SKPD atau OPD yang menghasilkan SILPA yang cukup besar. Kalau ditanya saya kerja apa? Ya kan jelas, bahkan sejak 2023 kita sudah bergerak,” sebutnya.
Diketahui, pada sesi kedua Debat Pilkada Kutim 2024 ini, Kasmidi menanyakan strategi yang ditawarkan Ardiansyah Sulaiman sebagai Bupati Kutim non-aktif pasca tingginya angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Kutim tahun 2024 yang diperkirakan mencapai Rp2,8 triliun.
Namun, saat menanggapi pertanyaan tersebut, Mahyunadi menyinggung jabatan Kasmidi yang dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasan pembangunan sehingga berdampak pada tingginya SiLPA 2024 Kabupaten Kutim.
“Berdasarkan aturan, tugas wakil bupati itu wasbang (pengawasan pembangunan). Ke mana tugas pengawasan selama ini,” ujarnya.
Sebagai informasi, SILPA adalah selisih antara surplus atau defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol.
SILPA dalam pengelolaan APBD bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti efisiensi pelaksanaan program, keterlambatan pelaksanaan kegiatan, atau adanya perencanaan yang belum terealisasi. SILPA juga dapat muncul karena anggaran pendapatan daerah yang telah ditetapkan terlampaui dan realisasi belanja daerah lebih rendah dari anggaran yang telah disepakati. (*)