Tanggung Jawab Sosial dan Etika dalam Bisnis Syariah

oleh -1,060 views
handshake 8050606 1280 3

BERITAKUTIM.COMTanggung Jawab Sosial dan Etika dalam Bisnis SyariahMenurut Hughes dan Kapoor (Alma, 1993), pengertian bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Secara umum, kegiatan ini ada di masyarakat dan industri. Dari pengertian itu, bisnis adalah lembaga yang menciptakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Baik pemerintah maupun swasta terlibat dalam menyediakan barang dan jasa ini untuk melayani masyarakat.

Bisnis penting bagi manusia karena semua orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, baik fisik maupun non-fisik, seperti sandang, papan, pangan, rekreasi, dan kebutuhan spiritual. Perbedaan kebutuhan ini dipengaruhi oleh selera, kekayaan, kesem-patan, dan kemampuan beli. Firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 70 menegaskan bahwa Allah memberikan rezeki kepada manusia dengan berbagai tingkatnya, sebagai ujian bagi mereka.

Individu memiliki status yang berbeda-beda, dapat dalam pendidikan, pangkat, pengetahuan, atau kekayaan. Hal ini me-rupakan ujian dari Allah untuk melihat ketabahan mereka. Pemahaman yang lebih tinggi adalah yang sesuai dengan pemahaman Allah, bukan pandangan duniawi manusia.

Karena Allah memberikan perbedaan dalam derajat, kekayaan, dan semua karunia-Nya kepada manusia, kita tidak seharusnya merasa iri atau dengki. Ilmu pengetahuan, kekayaan, dan pangkat adalah ujian yang diberikan Allah kepada manusia, seperti yang terlihat dari penjelasan dalam dua ayat tersebut bahwa rezeki yang diberikan Allah kepada manusia tidak sama. Perbedaan ini menciptakan kesempatan yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Sebagai akibatnya, dalam masyarakat diperlukan orang yang bersedia memproduksi dan menjual barang dan jasa, serta orang lain yang bersedia membelinya. Ini adalah prasyarat untuk kegiatan bisnis yang berjalan dengan lancar.

Dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat saat ini, bisnis dituntut untuk beroperasi dengan cepat dan efisien. Hal ini mencakup pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan manajemen usaha yang efektif, menghasilkan produk berkualitas tinggi dengan biaya yang rendah. Secara tradisional, tujuan utama bisnis adalah mencari keuntung-an sebesar mungkin untuk memastikan ke-langsungan hidup perusahaan selama proses produksi.

Namun, pertanyaannya adalah apakah tujuan bisnis sebatas mencari keuntungan semata? Bagaimana hubungan antara peru-sahaan, masyarakat, dan Allah SWT?

A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Dan Etika Dalam Bisnis Syariah

Etika bisnis dalam Islam berasal dari kata Yunani “ethos”, yang berarti adat kebiasaan dan merupakan bagian dari filsafat. Istilah etika sering dikaitkan dengan aspek sosial seperti akhlak, budi pekerti, perilaku, moral, adab, dan sopan santun. Seseorang yang memiliki etika yang baik dianggap memiliki perilaku, akhlak, dan budi pekerti yang mulia.

Dalam konteks bisnis, diharapkan bahwa pelaku bisnis bertindak secara etis dalam semua kegiatan yang mereka lakukan dalam masyarakat. Hal ini termasuk dalam penggunaan sumber daya produksi seperti kekayaan alam, tenaga kerja, dan modal, yang harus dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh masyarakat. Pelaku bisnis harus menyadari bahwa sumber daya produksi ini terbatas dan perlu dilestarikan untuk keberlanjutan. Dalam bisnis syariah, tanggung jawab sosial merujuk pada kewajiban untuk bertindak adil, jujur, dan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dalam setiap aspek operasionalnya. Ini mencakup memastikan bahwa praktik bisnis tidak hanya meng-untungkan pemilik modal dan pihak internal lainnya, tetapi juga memberikan manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat secara luas. Prinsip-prinsip bisnis syariah menekan-kan pentingnya keadilan, transparansi, dan keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kebaikan sosial.

Baca Juga :  Operasi Jaran Mahakam 2024, Polres Kutim Berhasil Ungkap Pelaku Curanmor

Dalam bisnis yang ingin mendapatkan ridha Allah SWT, penting untuk memegang teguh nilai-nilai etika dan moral. Hal ini akan memastikan bahwa usaha dan hasilnya bersih, halal, serta diberkahi di dunia dan di akhirat. Pelanggaran terhadap etika bisnis sebenarnya dapat dikembalikan pada hati nurani mereka.

Jika seseorang merasa dalam hatinya bahwa perbuatan yang dilakukannya kurang baik, namun ia tetap melanjutkannya, maka itu sudah menjadi pelanggaran baik dari segi etika maupun moral. Jika setiap pelaku bisnis memiliki pikiran yang demikian, kegiatan bisnis di dunia ini akan menjadi sangat indah. Tidak akan ada monopoli produk atau jasa, tidak akan ada penipuan dalam pengukuran atau hal lainnya. Namun, dalam kondisi di mana ada monopoli bisnis, seperti kasus Bulog yang mengendalikan beberapa komoditas pangan, atau TELKOM yang mendominasi industri telekomunikasi, seringkali etika bisnis diabaikan. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa konsumen sangat membutuhkan barang atau jasa tertentu yang langka di pasar.

Dalam situasi seperti ini, produsen cenderung kurang memperhatikan keinginan konsumen dan kualitas pelayanan purna jual yang memuaskan. Akibatnya, konsumen merasa dirugikan karena tidak mendapatkan layanan yang memadai dari produsen tersebut. Praktek-praktek penipuan dalam bisnis juga sering terjadi, termasuk dalam kegiatan promosi yang terlalu melebih-lebihkan dan menyesatkan konsumen. Konsumen sering merasa tertipu atau terpaksa membeli barang yang sebenarnya tidak sesuai dengan iklan. Dalam beberapa kasus, iklan bahkan mengandung kebohongan atau tipuan yang dapat memiliki dampak negatif, yang dalam Islam disebut sebagai najasy (iklan palsu).

Hal ini sering kali dilakukan untuk memuji-muji produk secara berlebihan atau melibatkan rekayasa harga oleh teman-teman yang bersekongkol untuk mempengaruhi orang lain. Beberapa pedagang bahkan bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidak mendapatkan keuntungan atau menjual barang dengan harga lebih rendah dari harga beli, hanya untuk menipu konsumen agar mau membeli barang tersebut.

Praktik penipuan lain yang sering dilakukan oleh penjual adalah menyem-bunyikan cacat atau kekurangan barang yang dijual. Berdasarkan prinsip kejujuran yang harus dipegang teguh oleh setiap produsen atau penjual, mereka seharusnya menjelaskan dengan jujur kondisi sebenarnya dari barang kepada konsumen. Ini sesuai dengan ajaran Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang menyatakan bahwa tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu kecuali dia menjelaskan kekurangan atau cacat yang ada pada barang tersebut. Jika barang mengalami kerusakan atau cacat, hal ini harus diungkapkan secara terbuka kepada konsumen, bukan disem-bunyikan, sehingga pembeli dapat membeli barang sesuai dengan kualitas dan harganya.

Sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim mengisahkan bahwa Rasulullah melintasi para pedagang bahan makanan dan melihat satu tumpukan barang yang menimbulkan kecurigaan. Beliau mencoba memeriksa isi tumpukan tersebut dengan memasukkan tangannya dan merasakan kelembaban di dalamnya. Rasulullah ke-mudian bertanya kepada penjual tentang barang tersebut, dan penjual menjawab bahwa itu bekas terkena hujan. Rasulullah menyarankan agar barang yang basah itu diletakkan di atas tumpukan sehingga orang bisa melihatnya dengan jelas. Dari kejadian tersebut, beliau menyatakan bahwa barangsiapa yang menipu, bukanlah bagian dari golongannya.

Dalam hal ini, hadis tersebut menegaskan pentingnya kejujuran dan transparansi dalam berbisnis menurut ajaran Islam, serta larangan terhadap praktik penipuan atau menyembunyi-kan cacat barang dari konsumen.

B. PRAKTEK ETIKA DALAM BISNIS

Kegiatan bisnis memerlukan cara-cara yang tidak hanya menguntungkan diri sendiri tetapi juga tidak merugikan pihak lain, bahkan lebih baik lagi jika saling menguntungkan. Para pengusaha memiliki tanggung jawab yang besar karena harus melayani pemilik perusahaan dan masyarakat. Pemilik peru-sahaan mengharapkan keuntungan maksimal, sementara masyarakat menuntut produk berkualitas dengan harga yang wajar. Selain itu, para pengusaha juga dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat. Dalam situasi seperti ini, peran etika bisnis sangat penting. Bisnis yang dijalankan dengan etika yang baik akan saling menguntungkan dan mendapat berkah dari Allah SWT.

Baca Juga :  Dinas Lingkungan Hidup Mendistribusikan Alat Kebersihan Beberapa Kecamatan di Kutim

Namun, etika bisnis bukanlah alat untuk melindungi pelaku bisnis yang tidak efisien atau yang hanya mengandalkan koneksi dengan pejabat. Etika bisnis menuntut semua pelaku bisnis untuk bertindak terbuka, normal, dan sesuai dengan aturan yang ada, baik aturan bisnis yang sehat maupun tuntunan Al Qur’an. Mereka tidak boleh bersaing secara tidak wajar yang bertujuan mematikan bisnis lawan. Tindakan bisnis seperti ini tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

Saat ini, banyak pengusaha mengeluhkan kurangnya aturan atau etika bisnis yang berlaku. Ada banyak isu negatif tentang pengusaha tertentu yang mendapat fasilitas khusus dari pejabat, sehingga dapat mengelola usahanya dengan lancar. Tindakan ini merugikan pengusaha lain yang tidak mendapat fasilitas khusus, karena harus bersaing mendapatkan pasar yang sudah dikuasai oleh pengusaha tersebut, yang menimbulkan rasa pesimistis. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka kehidupan bisnis tidak akan baik. Oleh karena itu, pendekatan religius bisa menjadi salah satu solusi untuk melaksanakan bisnis sesuai dengan etika masyarakat.

Ada dua pendekatan untuk memperbaiki etika bisnis yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Pertama, melalui pendalaman ajaran agama agar perilaku bisnis didasarkan pada tuntunan agama. Pemahaman ajaran agama ini akan menghilangkan tindakan yang melanggar aturan agama. Doktrin-doktrin agama akan membimbing para pelaku bisnis dalam hubungan antar manusia seperti perdagangan. Kedua, dengan melakukan hubungan bisnis yang tidak merugikan mitra bisnisnya, berdasarkan saling pengertian dan tidak hanya keuntungan sepihak. Persaingan yang terjadi harus saling mendukung dan menguntungkan.

Menurut Imam Al Ghazali, ada beberapa perilaku terpuji dalam persaingan bisnis yang ketat saat ini, yaitu:

  1. Tidak mengambil keuntungan yang berlebihan. Hal ini bisa membuat penjual menjual barang dengan harga lebih murah, yang diinginkan oleh konsumen.
  2. Membayar harga lebih mahal kepada penjual yang miskin sebagai bentuk amal.
  3. Memberikan diskon atau harga murah kepada pembeli yang miskin.
  4. Membayar hutang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan dan lebihkan pembayaran sebagai tanda terima kasih.
  5. Membatalkan jual beli jika pembeli menginginkannya untuk menjaga kepuasan konsumen.
  6. Tidak menagih pembayaran cicilan kepada orang miskin jika mereka belum mampu membayar dan membebaskan hutang jika mereka meninggal dunia.
  7. Berlaku adil dan jujur kepada semua konsumen. Mengurangi takaran atau menipu dalam bisnis sangat tercela.
  8. Penjual dan pembeli bebas memilih dan tawar-menawar sebelum berpisah, dan kejujuran akan membawa keberkahan dalam jual beli.

Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam bisnis. Mengurangi takaran atau menipu dalam bisnis merupakan perbuatan yang dikecam dan diancam hukuman oleh Allah SWT, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Berbisnis dengan perilaku jujur tanpa penipuan akan membawa keuntungan dan berkah bagi semua pihak yang terlibat.

C. TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM BISNIS

Manusia Sebagai Hamba Allah dan Makhluk Sosial dalam Dunia Bisnis.

Sebagai hamba Allah, manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Ini juga berlaku dalam dunia bisnis, di mana kegiatan bisnis tidak terlepas dari lingkungan masyarakat. Hubungan yang baik antara bisnis dan masyarakat dapat meningkatkan ketakwaan Muslim yang mengelola bisnis.

Baca Juga :  Hadiri Musrenbangcam Sangatta Utara, Basti Nilai Program Pembangunan Sudah di Jalur Yang Tepat

Oleh karena itu, setiap tindakan pelaku bisnis harus berdasarkan ajaran Islam dan memperhatikan masyarakat. Pelaku bisnis memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada pemilik perusahaan dalam mencari laba sebesar-besarnya tetapi juga kepada masyarakat dan, akhirnya, kepada Allah SWT.

Tanggung jawab kepada Allah SWT terlihat dari niat dan pelaksanaan bisnis yang tujuan utamanya adalah ibadah. Pengusaha Muslim tidak mementingkan diri sendiri karena pedoman agama yang menuntunnya, seperti dalam memelihara ekosistem, menjaga keseimbangan lingkungan, dan memberi hak hidup kepada makhluk Allah lainnya.

Selain itu, tanggung jawab bisnis terhadap masyarakat melibatkan pemberian pekerjaan tanpa terlalu membatasi jumlah pekerja untuk menghindari biaya tenaga kerja yang tinggi. Bisnis juga harus memiliki tanggung jawab sosial lainnya, seperti memberi santunan kepada masyarakat kecil, yatim piatu, dan pengusaha kecil.

Dengan demikian, tanggung jawab sosial bisnis tidak hanya terbatas pada menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, pelayanan baik, dan kepuasan konsumen. Kompleksitas masalah dalam masyarakat dapat menim-bulkan konflik dalam lingkungan bisnis.

Seorang pekerja dalam bisnis dapat berperan sebagai pembeli, anggota organisasi buruh, penduduk sekitar pabrik, dan bagian dari perusahaan. Oleh karena itu, orang akan memilih yang terbaik bagi dirinya dalam situasi tertentu.

Tanggung jawab sosial bisnis menurut pandangan Islam terfokus pada pelaksanaan etika bisnis sesuai dengan etika Islam. Pelaksanaan etika ini meliputi produksi barang dan jasa, distribusi, periklanan, penetapan harga, menjaga kelestarian lingkungan, kepuasan konsumen, dan men-dapatkan laba yang wajar tanpa melanggar peraturan pemerintah maupun agama. Pelaku bisnis harus melestarikan lingkungan dan tidak menggunakan sumber daya alam secara berlebihan.

Lingkungan bisnis yang selalu berubah memerlukan strategi yang handal untuk mengantisipasi perubahan. Faktor-faktor produksi dalam perspektif Islam meliputi alam, tenaga kerja, modal, keterampilan, dan kemampuan.

Pertama, faktor produksi alam yang disediakan oleh Allah SWT harus dikelola dengan tujuan ibadah. Pemanfaatan sumber alam harus sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan, mengingat banyak bencana terjadi akibat eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, faktor tenaga kerja harus memperhatikan Hak Asasi Manusia. Peng-usaha tidak boleh semena-mena terhadap pekerjanya, dan harus memberikan upah yang pantas serta memperhatikan kesejah-teraan fisik dan non-fisik pekerja. Islam mengajarkan untuk membayar upah dengan jumlah yang wajar dan segera, karena itu adalah penghasilan pokok bagi keluarganya.

Ketiga, faktor produksi modal yang berupa dana atau kekayaan perusahaan untuk proses produksi. Modal bisa berasal dari pemilik perusahaan atau hutang kepada pihak lain. Modal dari pemilik biasanya tidak bermasalah, tetapi modal dari hutang sering kali menimbulkan masalah.

Terakhir, faktor keterampilan mana-jemen memegang peranan vital dalam mengelola faktor-faktor produksi lainnya. Pengelolaan sumber daya alam, tenaga kerja, modal, dan keterampilan tanpa unsur keimanan terhadap Islam akan tidak seimbang. Keseimbangan antara keuntungan yang diinginkan dan aturan-aturan Islam harus tercermin dalam bisnis. Misalnya, manajemen harus memberikan kesempatan kepada pekerja untuk beribadah dengan fasilitas yang memadai. Tanpa keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat, kehidupan perusahaan akan terasa gersang.

Penulis : Siva Anis Sabina, Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sangatta, Jurusan Ekonomi Syariah.